RSS
 

KEPEMIMPINAN BERBASIS KECERDASAN EMOSI

08 Jan

KEPEMIMPINAN BERDASARKAN KECERDASAN EMOSI

Oleh : Daniel Goleman, Richard Boyatziz, Annie McKee

Gramedia, Jakarta, 2004

RESUME

 

 

BAGIAN SATU

 

BAB SATU

Primal Leadership

Para pemimpin besar menggerakkan kita. Mereka membangkitkan semangat dan menginspirasi yang terbaik dalam diri kita. Ketika kita berusaha menjelaskan mengapa mereka begitu efektif, realitanya sangatlah mendasar: para pemimpin besar bekerja dengan melibatkan emosi. Apapun yang mereka canangkan, bergantung pada bagaimana cara mereka melakukannya.

Dimensi Primal

Tugas emosi pemimpin yang bersifat utama. Pemimpin selalu memainkan peran emosi yang primordial. Di dalam sejarah atau budaya manapun, pemimpin kelompok manusi adalah seseorang yang menjadi tumpuan dalam mencari kepastian dan kejelasan ketika menghadapi ketidakpastian atau ketika ada suatu tugas yang harus dilakukan. Dalam organisasi modern, tugas emosi yang primordial ini menggerakkan emosi kolektif ke arah yang positif dan menyingkirkan kabut asap yang terbentuk oleh emosi-emosi beracun.

Loop Terbuka

Kajian tentang otak mengenai mengapa primal leadership sangat penting terletak pada rancang bangun otak manusia, disebut oleh para ilmuwan sebagai sifat loop terbuka sistem limbik atau pusat emosi kita. Sistem loop tertutup adalah sistem yang mengatur dirinya sendiri. Sedangkan sistem loop terbuka banyak bergantung pada sumber luar untuk mengatur dirinya. Dengan kata lain, untuk stabilitas emosi kita sendiri, kita mengandalakan hubungan dengan orang-orang lain.

 

Penyebaran Emosi dan Kepemimpinan

Realita yang sudah lama berlangsung dalam dunia bisnis adalah setiap orang mengamati sang bos. Orang memetik isyarat dari atas. Bahkan jika bos-nya tidak kelihatan, sikapnya mempengaruhi suasana hati bawahan langsungnya, dan efek domino akan menyebar luas ke iklim emosi seluruh perusahaan sehingga pemimpin memainkan peran penting dalam menentukan emosi bersama. Tetapi tidak semua pemimpin ‘resmi’ didalamkelompok adalah pemimpin emosi. Jika untuk beberapa hal, pemimpin ‘resmi’ ini kurang memiliki kredibilitas, orang-orang bisa mencari bimbingan emosi dari orang lain yang mereka percayai dan hargai.

 

Tawa dan Loop Terbuka

Secara khusus, tawa menunjukkan kekuatan kerja sistem loop terbuka, dan karenanya merupakan emosi yang paling menular. Ketika mendengar tawa, otomatis kita juga tersenyum dan tertawa. Senyum ramah menyebar dengan cepat karena otak kita melibatkan sirkuit-sirkuit loop terbuka, yang dirancang secara khusus untuk mendeteksi senyum dan tawa yang membuat kita merespons dengan tawa. Hasilnya adalah pembajakan emosi yang positif.Semakin besar keterampilan seorang pemimpin dalam menularkan emosinya, akan semakin kuat penyebaran emosinya. Pemimpin yang optimis dan antusias akan lebih mudah mempertahankan orang-orangnya, dibandingkan para bos yang memiliki suasana hati negatif.

 

Bagaimana Suasana Hati Berdampak pada Hasil Kerja

Menurut penemuan baru tentang kepuasaan kerja, emosi yang dirasakan orang ketika mereka bekerja akan  secara langsung mencerminkan kualitas yang sesungguhnya dari kehidupan kerjanya. Persentase waktu dimana orang merasakan emosi positif di tempat kerja ternyata merupakan faktoe yang paling kuat dalam menentukan kepuasaan kerja dan karenanya seberapa besar kemungkinan karyawan akan berhenti kerja. Pemimpin yang menyebarkan suasana hati yang buruk adalah pemimpin yang buruk untuk perusahaan dan mereka yang menularkan suasana hati yang baik akan membantu keberhasilan bisnis, sehingga jika suasana hati baik orang merasa lebih optimis tentang kemampuannya untuk mencapai tujuan, meningkatkan kreativitas dan keterampilannya dalam mengambil keputusan, dan membuat orang menjadi suka membantu

Mengukur “Perasaan” Sebuah Perusahaan

Terdapat sebuah kesepakatan umum bahwan karyawan yang merasa senang ketika bekerja akan lebih bisa menyenangkan pelanggan dan dengan begitu akan meningkatkan laba. Tetapi sebenarnya ada suatu logaritma tertentu untuk mengukur relasi ini. Yaitu untuk setiap satu persen perbaikan suasana pelayanan, terjadi dua persen peningkatan pendapatan.

 

BAB DUA

Kepemimpinan yang Resonan

Di bawah bimbingan pemimpin yang cerdas secaraemosi, orang-orang merasakan tingkat kenyamanan yang saling menguntungkan. Mereka saling membagi ide dan saling belajar satu sama lain, membuat keputusan bersama, dan saling menyelesaikan tugas bersama.  Keterikatan tingkat emosi seperti itu membuat pekerjaan semakin lebih bermakna. Perasaan-perasaan menggerakkan orang untuk melakukan suatu bersama-sama, sesuatu yang tidak akan bisa dan mau dilakukan oleh perorangan. Dan pemimpin yang cerdas secara emosilah yang tau bagaimana caranya membentuk ikatan seperti itu. Pemimpin yang cerdas secara emosi membangun resonansi dengan mendengarkan dan menyelaraskan diri dengan perasaannya sendiri dan orang lain dan membimbingnya ke arah yang benar.

 

Interaksi Empat Inti Kecerdasan Emosi

Keempat inti kecerdasan emosi yaitu kesadaran diri, pengelolaan diri, kesadaran sosial, dan pengelolaan relasi. Kesadaran diri yang seringkali diabaikan di situasi bisnis, adalah landasan bagi ketiga inti lainnya. Tanpa mengenali emosi kita sendiri,  kita tidak akan bisa mengelolanya, dan kurang mampu memahami emosi orang lain. Kesadaran sosial terutama empati, mendukung langkah selanjutnya dari tugas utama pemimpin, yaitu mendorong terjadinya resonansi. Dengan mengenali dan menyelaraskan diri dengan perasaan orang lain saat diperlukan, penyelarasan ini juga memungkinkan seorang pemimpin untuk merasakan nilai dan prioritas bersama yang bisa membimbing kelompok.

BAB TIGA

Anatomi-Neurologi Kepemimpinan

Dalam istilah fungsi otak, resonansi berarti pusat emosi orang-orang berada dalam keadaan selaras secara positif. Perlu diingat bahwa salah satu jalan yang paling ampuh dan langsung untuk menciptakan hubungan yang resonan antar-otak adalah melalui tawa. Jadi, para pemimpin yang efektif akan menggunakan humor dengan bebas, bahkan pada saat-saat yang menegangkan, dan mengirim pesan-pesan positif yang mengubah nada emosi yang melatarbelakangi suatu interaksi.

Kompetensi Pribadi merupakan kemampuan-kemampuan yang menentukan bagaimana kita mengelola diri kita sendiri

  1. Kesadaran diri
  • Kesadaran diri emosi:membaca emosi diri sendiri dan mengenali dampaknya menggunakan insting untuk menuntun keputusan
  • Penilaian-diri yang akurat: mengetahui kekuatan dan keterbatasan diri
  • Kepercayaan diri: kepekaan yang sehat mengenai harga diri dan kemampuan diri
  1. Pengelolaan Diri
  • Kendali diri emosi: mengendalikan emosi dan dorongan yang meledak-ledak
  • Tranparansi:menunjukkan kejujuran dan integritas, kelayakan untuk dipercaya
  • Kemampuan menyesuaikan diri:kelenturan didalam beradaptasi dengan perubahan situasi atau mengatasi hambatan
  • Pencapaian
  • Inisiatif
  • Optimisme

Kompetensi Sosial yaitu kemampuan yang menentukan bagaimana kita mengelola hubungan

  1. Kesadaran sosial
  • Empati
  • Kesadaran organisasional
  • Pelayanan
  1. Pengelolaan Relasi
  • Kepemimpinan yang menginspirasi
  • Pengaruh
  • Mengembangkan orang lain
  • Katalis perubahan
  • Pengelolaan konflik
  • Membangun ikatan
  • Kerja kelompok dan kolaborasi

 

GAYA KEPEMIMPINAN

Resonansi bukan hanya berakar pada suasana hati yang baik atau kemampuan pemimpin untuk mengatakan sesuatu hal yang benar tetapi juga pada sekumpulan kegiatan terkoordinasi yang tercangkupdalam gaya kepemimpinan tertentu. Secara tipikal, pemimpin terbaik dan terefektif bertindak berdasarkan salah satu dari enam pendekatan kepemimpinan dan dengan terampil mengganti gaya, tergantung kepada situasi. Mungkin yang terpenting adalah bahwa para pemimpin yang mempunyai hasil terbaik ternyata tidak menggunakan satu gaya saja. Sebaliknya, pada suatu hari atau pekan tertentu, mereka menggunakan banyak gaya – dengan mulus dan dengan derajat yang berbeda-beda—tergantung situasi bisnis. Langkah awal yaitu melihat keempat gaya kepemimpinan yang mendukung terjadinya resonansi, kemudian dua gaya lain yang akan segera menciptakan disonansi jika tidak digunakan secara efektif.

Gaya yang Disonan

Gunakan dengan Hati-hati

Gaya ini bisa sangat berhasil, terutama di bidang-bidang teknis, diantara para professional yang berketerampilan tinggi. Gaya penentu kecepatan ini terutama cocok selama fase pencarian posisi bisnis dalam siklus hidup sebuah perusahaan, ketika pertumbuhan merupakan hal terpenting. Jika semua anggota kelompok sangat kompotan, bermotivasi, dan tidak membutuhkan banyak pengarahan, gaya ini bias member hasil besar. Dengan adanya tim berbakat, pemimpin penentu kecepatan akan membuat pekerjaan selesai pada waktunya, atau bahkan lebih awal dari jadwal.

Penentu Kecepatan: Gunakan Sesekali Saja

Meskipun gaya penentu kecepatan mempunyai tempat tersendiri dalam kotak perkakas pemimpin, tetapi gaya ini harus sekali-sekali saja digunakan dan terbatas pada situasi dimana gaya ini betul-betul bisa berhasil baik. Pemimpin memegang teguh dan melaksanakan standar kinerja yang tinggi. Tetapi jika diterapkan dengan buruk, berlebihan atau pada situasi yang tidak tepat, gaya penentu kecepatan ini bisa membuat pegawai merasa didorong terlalu keras oleh tuntutan yang terus-menerus dari pemimpin. Akibatnya, ketika pegawai melihat bahwa pemimpinnya mendorong mereka terlalu keras, moral kerja mereka bisa runtuh. Lebih dari itu, penentu kecepatan bisa begitu terfokus pada tujuan sehingga ia bisa tampak tidak peduli pada orang-orang yang sebenarnya ia andalkan untuk mencapai tujuan tersebut. Hasil akhirnya adalah disonansi.

Gaya ini bisa berhasil dengan baik, tetapi hanya pada situasi yang tepat, yaitu ketika para pegawainya memiliki motivasi diri, sangat kompoten, dan tidak membutuhkan banyak pengarahan.

Unsur-Unsur yang Diperlukan Agar Gaya Penentu Kecepatan Bisa Efektif

Apa yang diperlukan agar bisa menjadi pemimpin penentu kecepatan yang berhasil? Landasan kecerdasan emosi gaya ini terletak pada dorongan untuk mencapai tujuan dengan terus menemukan   cara-cara untuk memperbaiki kinerja bersamaan dengan sejumlah besar inisiatif dalam menangkap kesempatan. Penentu kecepatan juga membutuhkan inisiatif, kesigapan untuk menangkap atau menciptakan kesempatan untuk melakukan dengan lebih baik. Tetapi jika ini timbul tanpa adanya kompetensi IE yang penting lainnya, maka dorongan untuk mencapai tujuan ini bisa menjadi salah. Tetapi, gaya penentu kecepatan bisa berhasil dengan baik jika dipadu dengan gaya kepemimpinan yang lain seperti gairah gaya visioner dan pembangunan tim gaya afiliatif.

Memimpin dengan Memerintha: Do It Because I Say So

Penerapan Gaya Memerintah

Seperti apakah penerapan dari  gaya memerintah yang kadang-kadang disebut sebagai gaya intimidasi? Dengan moto “do it because I say so”, para pemimpin ini menuntut kepatuhan langsung pada perintahnya, tetapi tidak mau repot-repot menjelaskan alas an yang ada dibaliknya. Organisasi yang seperti ini mengadopsi model kepemimpinan militer. Tetapi, di organisasi-organisasi militer yang telah dimodernisasi sekarang ini, gaya memerintah telah diseimbangkan dengan gaya-gaya lain untuk membangun komitmen, semangat korps, dan kerja kelompok.

Kapan Gaya Memerintah Bisa Berhasil?

Dalam usaha menyelamatkan perusahaan, akan mendapati bahwa gaya memerintah ini bisa berjalan efektif untuk menyingkirkan kebiasaan bisnis yang tidak bermanfaat dan mengejutkan orang supaya bersedia melakukan sesuatu dengan cara-cara yang baru. Begitu pula dalam situasi darurat murni. Pemimpin dengan gaya ambil kendali bisa membantu setiap orang untuk melewati masa krisis. Lebih dari itu, jika semua cara telah gagal, kadang-kadang cara ini berguna untuk menghadapi pegawai yang bermasalah.

Apa yang Diperlukan Oleh Gaya yang Memerintah?

Pelaksanaan gaya memerintah yang efektif ini berlandaskan pada tiga kompetensi kecerdasan emosi: pengaruh, pencapaian, dan inisiatif. Dalam gaya memerintah, inisiatif seringkali bukan hanya dalam bentuk mengambil kesempatan tetapi juga menggunakan nada menggunakan nada “memerintah” yang tidak ragu-ragu, mengeluarkan perintah secara langsung dan bukan berhenti untuk merenungkan dulu sebuah tindakan. Mungkin yang paling penting agar dapat menerapkan gaya memerintah dengan terampil adalah pengendalian emosi diri. Ini berarti, gaya memerintah hanya boleh digunakan dengan sangat hati-hati, ditujukan pada situasi dimana memang hanya gaya ini yang harus dilakukan.

Paradoks Pemimpin yang Buruk

Meskipun sudah terbukti bahwa pemimpin yang memerintah dengan buruk akan menciptakan disonansi yang berujung pada rencana, tetapi setiap orang bisa menyebut nama seorang pemimpin yang kasar, keras, yang semua penampilannya berlawanan dengan pembangunan resonansi tetapi tampaknya berhasil memanen hasil bisnis yang besar.

Secara tipikal, pemimpin dengan ego besar ini hanya terpaku pada sasaran financial jangka pendek, tanpa mempertimbangkan kerugian manusiawi atau organisasionl jangka panjang didalam mencapai tujuannya. Akhirnya, pemimpin yang sedang kita bahas ini biasanya mempunyai satu atau dua kelemahan kompetensi kecerdasan emosi yang sangat mencolok, tetapi masih memiliki cukup kekuatan untuk menyeimbangkannya, agar ia bisa tetap efektif.

Dampak Bisnis Gaya-Gaya yang Fleksibel

Dengan memiliki kecerdasan emosi yang lebih lengkap, seorang pemimpin bisa lebih efektif karena ia bisa fleksibel dalam menghadapi berbagai jenis tuntutan dalam mengelola organisasi. Setiap gaya memerlukan kemampuan kecerdasan emosi yang berbeda. Pemimpin yang terbaik akan mampu menggunakan pendekatan yang benar pada saat yang tepat, dan beralih dari satu pendekatan ke pendekatan lainnya sesuai dengan kebutuhan.

Organisasi yang dipimpin oleh CEO yang hebat lebih berhasil menciptakan iklim kerja yang lebih baik, mulai dari kejelasan di dalam komunikasi sampai membuat orang merasa fleksibel dan bebas untuk berinovasi dalam menyelesaikan pekerjaannya. Singkatnya, para pemimpin ini menciptakan iklim kerja dimana orang-orang merasa bersemangat dan terfokus, bangga pada pekerjaannya,mencintai apa yang mereka lakukan dan bertahan di perusahaan tersebut.

 

BAGIAN DUA

Mencetak Pemimpin

BAB ENAM

Menjadi Pemimpin yang Resonan (Lima Penemuan)

Seorang pemimpin yang menganggap dirinya sebagai “orang penting” merupakan suatu persepsi yang sangat berbahaya. Seorang pemimpin yang seperti itu tidak akan bisa membaca lingkungannya yang kompleks, apalagi mengelola diri sendiri karena kebanyakan dari mereka mempunyai kesadaran politikal dan empati yang sangat kecil. Pemimpin tidak bisa menilai dirinya. Semakin tinggi tangga yang didaki oleh seorang pemimpin, semakin kurang akuratlah penilaian pada dirinya. Hal itu dikarenakan tidak adanya umpan balik yang jujur dibandingkan siapapun, terutama umpan balik tentang bagaimana diri mereka sebagai pemimpin. Pemimpin perlu tahu dalam hal apa mereka dapat memperbaiki kompetensi kecerdasan emosi secara lebih spesifik demi keberhasilan kepemimpinan yang mereka jalankan.

Penyakit CEO

Kasus yang sangat jelas dari penyakit CEO yaitu suatu ruang hampa informasi disekeliling seorang pemimpin yang diciptakan  ketika orang-orang menahan informasi yang penting (dan biasanya tidak menyenangkan). Biasanya orang-orang yang menahan informasi tersebut dihantui oleh rasa takut, yaitu takut akan hukuman dari pemimpinnya, terutama jika gaya utama pemimpin ini adalah gaya memerintah. Beberapa orang lain hanya memberikan informasi positif karena ingin menjadi “warga negara yang baik” atau pemain tim, atau takut dianggap sebagai pengkhianat oleh kelompoknya. Atau mereka sekadar ingin terlihat  bersemangat tinggi, sehingga menekan semua kenyataan negatif.

Orang-orang yang tidak memberikan umpan balik yang jujur kepada rekan kerja mereka, entah atasan atau bawahan, bisa dikarenakan oleh berbagai alasan, dan alasan yang terkuat yaitu rasa takut membuat perasaan orang lain tidak nyaman. Padahal evaluasi yang jujur akan sangat berarti, daripada jenis informasi lainnya.Kesadaran diri pemimpin dan kemampuannya untuk melihat kinerjanya secara akurat adalah sama pentingnya dengan umpan balik yang diterima dari orang lain. Informasi yang jujur tentang kemampuan kepemimpinan sangat vital bagi kesadaran diri seorang pemimpin, dan selanjutnya bagi pertumbuhan dan efektivitasnya.

Kemajuan Pemimpin: Bakat atau Hasil Pembelajaran?

Dalam mengembangkan kemampuan kepemimpinan, terdapat kemungkinan bahwa seseorang lahir dengan tingkat empati tertentu dan dan ada pula yang mempelajarinya. Memang ada unsur genetik pada kecerdasan emosi, tetapi pembelajaran dan penumbuhan juga mempunyai peran besar. Kecerdasan emosi bukan hanya bisa dipelajari, tetapi juga bisa bertahan dalam jangka panjang.

Melewati Efek Bulan Madu

Dalam suatu pelatihan, seseorang mungkin merasakan antusias berkomitmen untuk meningkatkan programnya setelah pelatihan, namun pada siklus kira-kira tiga sampai enam bulan antusiasme tersebut memudar. Tidak lama kemudian ia bertindak dengan cara lamanya, bukan dengan cara baru yang telah ia komitmenkan, fenomena tersebut itulah yang disebut sebagai efek bulan madu.

Dalam hal membangun keterampilan kepemimpinan yang tahan lama, motivasi dan perasaan seseorang tentang belajar akan sangat berpengaruh. Orang akan mempelajari apa yang ingin mereka pelajari. Jika pembelajaran dipaksakan kepada kita, maka bahkan jika kita bisa menguasainya untuk sementara waktu, tetapi segera terlupakan. Jika seseorang dipaksa untuk berubah, maka perubahannya akan menghilang setelah paksaan itu berakhir. Empati yang lebih besar bisa dibangun dan bertahan. Yang diperlukan yaitu usaha, motvasi, dan komitmen emosional dari peserta.

Pemimpin itu Diciptakan, Bukan Dilahirkan

Para pemimpin besar diciptakan secara bertahap, sepanjang perjalanan hidup dan kariernya, mereka mendapatkan  kompetensi-kompetensi yang menjadikan mereka sangat efektif. Kompetensi bisa dipelajari oleh setiap pemimpin, pada setiap saat dari hidup dan kariernya. Tantangan untuk menguasai kepemimpinan adalah seperti tantangan dalam menguasai keterampilan lainnya. Secara alami orang akan cenderung menjadi lebih kuat dalam kompetensi kecerdasan emosinya sejalan dengan berjalannya waktu dan usia.

Peran Penting Otak

Kecerdasan emosi melibatkan sirkuit yang berjalan di antara pusat-pusat pelaksana otak di lobus prefrontal dan sistem limbik yang mengatur perasaan, impuls dan dorongan. Penelitian menunjukkan bahwa keterampilan yang berbasis di area limbik akan paling baik dipelajari melalui motivasi, banyak latihan dan umpan balik. Berbeda dengan jenis pembelajaran yang terjadi di neokorteks, yang mengatur kemampuan analisis dan teknis. Neokorteks menangkap konsep dengan cepat, menempatkannya di dalam suatu jaringan asosiasi dan pemahaman yang luas. Ketika mempelajari keterampilan teknis atau analisis, neokorteks beroperasi dengan sangat efisien.

Di sisi lain, otak limbik adalah pembelajar yang lebih lambat, terutama jika tantangannya adalah mempelajari ulang kebiasaan-kebiasaan yang sudah tertanam dalam-dalam. Perbedaan ini menjadi sangat penting ketika kita berusaha memperbaiki keterampilan kepemimpinan. Ditingkat yang paling mendasar, keterampilan ini berasal dari kebiasaan-kebiasaan yang dipelajari sejak dimulainya kehidupan seseorang. Oleh karena itu, mendidik kembali otak emosi untuk pembelajaran kepemimpinan membutuhkan model yang berbeda dari pembelajaran untuk otak pemikir. Ia membutuhkan banyak latihan dn pengulangan.

Mindfulness adalah keterampilan yang membantu orang untuk berfokus pada masa kini dan melepaskan pikiran yang mengganggu (misalnya kekhawatiran) daripada membiarkan diri terhanyut di dalamnya dan dengan demikian akan menimbulkan efek yang menenangkan.

Pembelajaran yang Berkelanjutan: Bukti

Kemampuan kepemimpinan bisa dibuat menjadi lebih efektif, jika mereka memperoleh alat pembelajaran yang tepat. Tetapi, pembelajaran yang mendalam ini bukan hanya sekadar penggunaan alat yang tepat, lebih dari itu pembelajaran yang mendalam merupakan suatu proses yang belum tentu berupa garis lurus dan lancar, tetapi lebih merupakan perjalanan yang penuh kejutan dan saat-saat yang menyenangkan.

Tanda Peringatan

Teori kompleksitas, atau teori khaos menyatakan bahwa banyak proses yang lebih cocok digambarkan sebagai perubahan mendadak dan bukan peralihan yang mulus. Gempa bumi, misalnya, terjadi karena patahan lapisan bumi secara tiba-tiba, meskipun tekanan di bawah permukaan buminya sudah terbentuk selama beberapa waktu. Begitu pula di dalam pembangunan kepemimpinan, penemuan yang tiba-tiba dan mengejutkan mengenai hidup kita bisa membuat kita bertindak, mengejutkan kita dengan kebenaran yang mengagetkan tentang diri kita sendiri dan memberikan  kejelasan baru tentang hidup kita. Diskontinuitas yang mengejutkan ini bisa menakutkan atau mencerahkan. Ada orang yang bereaksi dengan menghindar. Ada yang menyangkal kekuatan yang terkandung di dalamnya dan tidak peduli. Tetapi ada juga yang menerimanya sebagai tanda peringatan, lalu menajamkan kepekaannya, dan mulai mengubah kebiasaan-kebiasaan yang menghancurkan diri menjadi kekuatan-kekuatan baru.

Belajar Sendiri

Inti pengembangan kepemimpinan yang berhasil adalah pembelajaran yang diarahkan oleh diri sendiri (self directing learning): yaitu sengaja mengembangkan atau menguatkan suatu aspek diri yang sudah atau ingin kita miliki. Langkah pertama yaitu memiliki gambaran yang kuat tentang diri ideal, serta gambaran yang akurat tentang diri riil, yaitu siapa diri kita pada saat ini. Pembelajaran sendiri ini merupakan pembelajaran yang paling efektif dan bertahan lama jika kita memahami proses perubahan dan langkah-langkah untuk mencapainya selagi kita melaluinya.

Lima Penemuan

Pembelajaran yang diarahkan diri sendiri ini melibatkan lima penemuan, yang masing-masing mewakili sebuah diskontinuitas. Tujuannya yaitu menggunakan setiap penemuan sebagai alat untuk melakukan perubahan yang dibutuhkan untuk menjadi seorang pemimpin yang cerdas secara emosi. Jenis pembelajaran ini bersifat pengulangan yang tahap-tahapnya tidak terungkap secara mulus dan teratur, tetapi lebih mengikuti suatu urutan, di mana setiap langkahnya membutuhkan jumlah usaha dan tenaga yang berbeda. Dengan berjalannya waktu, latihan atau pelaksanaan kebiasaan-kebiasaan baru ini akan membuatnya menjadi bagian dari diri riil baru kita.

Penemuan kedua yaitu mencoba mengenali siapa kita sebenarnya pada saat ini, bagaimana kita bertindak, bagaimana orang lain memandang kita dan apa saja keyakinan diri kita. Beberapa dari pengamatan ini akan selaras dengan diri ideal kita, dan dapat dianggap sebagai kekuatan kita. Beberapa lainnya mewakili kesenjangan antara siapa diri kita saat ini (diri riil) dan siapa diri kita yang kita inginkan (diri ideal). Menyadari kekuatan dan kesenjangan ini akan membuka jalan berubahnya gaya kepemimpinan kita.

Penemuan ketiga yaitu mengembangkan agenda untuk memperbaiki kemampuan kita agar perubahan bisa berjalan baik. Merencanakan sebuah tindakan di mana tercantum petunjuk yang terperinci tentang hal-hal baru yang akan dicoba setiap hari, yang membangun kekuatan dan mendekatkan ke diri ideal. Penemuan keempat muncul dari pelaksanaan keterampilan-keterampilan kepemimpinan yang baru.

Penemuan kelima bisa muncul setiap saat selama proses pembelajaran. Pada siatuasi ini sangat membutuhkan peran orang lain untuk mengenali diri ideal atau menemukan diri riil kita, untuk menemukan kekuatan dan kesenjangan kita, untuk mengembangkan agenda untuk masa depan, dan untuk bereksperimen serta mempraktekkan. Orang-orang lainlah yang membantu kita melihat apa yang tidak kita lihat, meneguhkan kemajuan yang telah kita capai, menguji persepsi kita, dan membuat kita tahu bagaimana tindakan kita. Idealnya, kemajuan terjadi melalui suatu diskontinuitas, suatu penemuan yang bukan hanya membangkitkan kesadaran, tetapi juga perasaan urgensi.

 

BAB TUJUH

MOTIVASI UNTUK BERUBAH

Penemuan Pertama: Diri Ideal – Titik Dimulainya Perubahan

Kontak dengan impian hidup akan membangkitkan gairah, energi, dan semangat hidup seseorang. Kuncinya adalah membuka diri ideal kita, yaitu dengan mencari jawaban pribadi yang seperti apa yang kita inginkan, apa yang kita inginkan dalam hidup dan pekerjaan kita dan ini merupakan penemuan pertama. Untuk mengembangkan citra diri ideal ini kita perlu mengakses diri kita sendiri hingga pada tingkat intuisi.

Untuk memulai atau mempertahankan pengembangan riil kecerdasan emosi, kita harus memahami kekuatan diri ideal kita karena mengubah kebiasaan merupakan hal yang sangat berat. Itulah sebabnya perubahan yang langgeng memerlukankomitmen tinggi terhadap visi diri di masa depan, terutama selama masa-masa yang penuh tekanan atau di tengah-tengah bertambahnya tanggung jawab.

Diri Ideal versus Diri “Yang Diharuskan”

Ketika orang-orang terdekat kita mengatakan bahwa kita harus menjadi orang tertentu, sebenarnya mereka sedang memberikan versi mereka tentang diri ideal kita, sebuah gambaran diri “yang diharuskan”, yaitu pribadi yang kita kira merupakan pribadi ideal kita. Ketika kita menerima diri yang diharuskan itu, maka pengharapan itu akan menjadi kotak yang memerangkap kita, menjadi suatu “kerangkeng besi” yang mengelilingi kita dengan tembok yang tidak kasat mata. Efek yang sama terjadi dalam organisasi yang mana seseorang mengikuti anggapan umum, bahwa kemajuan karier ditunjukkan dengan kenaikan jabatan.

Seringkali seseorang sangat mudah mencampuradukkan diri yang diharuskan dan diri idealnya dan bertindak dengan cara-cara yang tidak otentik. Itulah sebabnya langkah menemukan diri ideal sangat besar perannya dalam proses pengembangan kepemimpinan.

Tidak Ada Visi, Tidak Ada Gairah

Kebanyakan orang berasumsi pengembangan kepemimpinan dimulai pada lingkup kecil yaitu “perencanaan karier”. Namun, sesungguhnya lebih luas dari itu. Pengembangan kepemimpinan dimulai dengan visi yang holistik dari hidup seseorang. Agar bisa meningkatkan kinerja bisnis, pemimpin harus terlibat secara emosional dengan pengembangan dirinya. Oleh karena itu, usaha perbaikan diri ini perlu dikaitkan dengan apa yang sungguh-sungguh berarti bagi mereka.

Falsafah: Bagaimana Orang Menentukan Nilai-Nilai

Dalam hidup, pemahaman falsafah yang kita jalani akan membantu kita melihat bagaimana diri ideal kita mencerminkan nilai-nilai kita. Falsafah juga akan mendorong tindakan, pikiran, dan perasaan dengan cara yang berbeda. Setiap orang memiliki perbedaan dalam menyelaraskan tindakan dengan nilai-nilai atau cara menginterpretasikan nilai-nilainya. Perbedaan ini bisa mencerminkan perbedaan falsafah yang dijalankan, yang paling umum adalah falsafah pragmatis, intelektual, dan humanistik.

Tema sentral falsafah pragmatis adalah keyakinan bahwa manfaatlah yang menentukan kelayakan sebuah ide, usaha, orang, atau organisasi. Orang-orang yang memiliki falsafah seperti ini percaya bahwa mereka bertanggung jawab untuk peristiwa-peristiwa di dalam hidup dan seringkali mengukur segala sesuatu untuk menilai nilai-nilai mereka.

Tema sentral falsafah intelektual adalah hasrat untuk mengerti orang-orang, hal-hal dan dunia dengan membangun gambaran tentang cara kerja mereka dan dengan demikian menyediakan rasa aman emosional di dalam meramalkan masa depan. Orang-orang dengan falsafah ini mengandalkan logika ketika membuat keputusan dan menilai kelayakan sesuatu dari apa yang melatarbelakanginya atau alasannya. Orang-orang dengan pandangan seperti ini banyak mengandalkan kompetensi kognitif, kadang-kadang sampai tidak mempedulikan kompetensi sosial.

Tema sentral falsafah humanistik adalah bahwa relasi yang akrab dan personal memberi makna pada hidup. Orang-orang dengan falsafah ini berkomitmen pada nilai-nilai manusiawi, keluarga dan teman dekat dilihat sebagai relasi yang lebih penting daripada relasi lainnya. Seorang pemimpin humanistik akan memandang penting hidup setiap orang, secara alami ia akan menumbuhkan kompetensi kesadaran sosial dan pengelolaan relasi.

Diri Ideal yang Selalu Berubah-Ubah

Mimpi dan aspirasi orang berubah-ubah sejalan dengan perjalanan karier, memberntuk kembali apa yang mereka anggap penting didalam hidup dan pekerjaan, diri ideal pun akan mengalami perubahan sepanjang perjalanan hidup. Perubahan-perubahan ini bukan hanya akan menentukan bakat atau kompetensi mana yang akan digunakan oleh seseorang, tetapi juga dalam bidang mana mereka merasa paling mantap dalam menerapkan bakat atau kompetensinya dan di mana mereka bisa menciptakan resonansi. Kadang-kadang orang bisa menyimpang dari panggilan hidupnya hanya karena ia terus melakukan hal yang sama, tidak mempedulikan perubahan impiannya dan apa yang penting bagi mereka.Gambaran diri ideal kita melibatkan gairah, emosi, dan motivasi kita. Visi pribadi adalah ekspresi terdalam dari apa yang kita inginkan dalam hidup, dan gambaran ini akan menjadi pembimbing keputusan-keputusan kita sekaligus tolok ukur perasaan puas kita di dalam hidup.

Memimpin dengan Penuh Semangat

Tindakan mengenali dan mengartikulasikan diri ideal kita, jalan yang sungguh-sungguh ingin kita jalani dalam hidup, membutuhkan adanya kesadaran diri ideal, kita akan merangsang harapan. Tantangan bagi setiap pemimpin adalah menggapai ke dalam, ke sumber harapan. Di sinilah letak kekuatan untuk membangunkan dan mengartikulasikan gambaran atau visi ideal pribadi dan visi bersama yang mengalir darinya dan dengan demikian memimpin orang lain di arah yang sama.

Penemuan Kedua: Diri Riil, atau Apakah Kita Katak yang Direbus?

Jika kita memasukkan seekor katak ke dalam air mendidih, secara naluriah ia akan meloncat keluar. Tetapi, jika kita menempatkan seekor katak di dalam panci berisi air dingin dan secara bertahap meningkatkan suhunya, kiatak ini tidak akan menyadari bahwa airnya semakin panas. Ia akan tetap di sana dampai airnya mendidih dan akhirnya akan mendidih bersama air. nasib katak rebus ini tidak berbeda dengan beberapa pemimpin yang terjebak dalam rutinitas atau membiarkan kenyamanan kecil-kecil menjadi kebiasaan yang sulit dilepaskan dan membiarkan dirinya menjadi mandek dan tidak mau berubah.

Diri Riil yang Elusif

Memeriksa diri riil dimulai dari daftar bakat-bakat dan gairah kita atau diri kita yang sebenarnya sebagai pemimpin. Ini bisa lebih sulit dari kelihatannya. Salah satu sebabnya adalah usaha ini memerlukan sejumlah besar kesadaran diri, dan kesadaran diri ini justru seringkali tertutup oleh “kemalasan” yang ditimbulkan oleh menumpuknya kebiasaan. Karena rutinitas menciptakan perubahan bertahap yang terjadi bersamaan dengan perjalanan waktu, maka realita hidup seringkali sulit dilihat.

Banyak hal yang menghalangi orang untuk melihat diri riilnya. Psike manusia sendiri melindungi kita dari informasi yang bisa menggerogoti persepsi diri kita. Mekanisme yang disebut sebagai mekanisme perlindungan ego ini melindungi kita secara emosional sehingga kita bisa lebih mudah menghadapi hidup. Tetapi dalam prosesnya, mereka menyembunyikan atau membuang informasi yang penting. Dengan berjalannya waktu delusi diri yang diciptakan oleh alam bawah sadar ini menjadi mitos yang terus membenarkan diri, tetap dipertahankan meskipun ada banyak kesulitan yang telah ditimbulkannya.

Kebohongan Vital

Delusi diri merupakan perangkap yang kuat, yang mampu membelokkan usaha kita untuk menilai diri. Karena delusi diri inilah kita memberi bobot lebih pada apa yang mengukuhkan gambaran diri yang keliru dan mengabaikan informasi penting untuk menemukan diri riil kita. Distorsi tidak selalu bermanfaat bagi diri. Cara yang paling efektif untuk memperbaiki distorsi pada persepsi diri adalah menerima umpan balik korektif dari orang-orang disekitar kita. Namun, umpan balik yang jujur sangat jarang kita terima.

Masalah “Bersikap Manis”

Para ilmuwan perilaku menganjurkan pemberian umpan balik kinerja yang tidak bersifat evaluasi. Umpan balik seperti ini menghindari adanya pro dan kontra, membuatnya lebih bisa diterima dan karenanya akan lebih bermanfaat. Dengan menghilangkan bagian umpan balik yang menyakitkan, mereka yang menerimanya akan cenderung lebih mau bersedia mendengarkannya.

Tetapi, menurut sebuah kajian pada Massachusetts Institute of Technolgy, usaha menetralkan umpan balik sebenarnya membuatnya menjadi kurang bermanfaat; netralisasi umpan balik yang tanpa komitmen dan terlalu berhati-hati akan menghilangkan pesan emosi yang penting. Menurut hasil penelitiannya, umpan balik evaluatif, di mana orang diberi umpan balik yang tegas dan spesifik mengenai perilakunya mana yang benar dan yang tidak benar, dianggap lebih membantu daripada umpan balik yang tidak bersifat evaluasi.

Mendapatkan Kebenaran

Untuk menjadi lebih efektif, pemimpin perlu mendobrak karantina informasi yang mengelilinginya dan persekongkolan untuk tetap membuat mereka senang, bahkan jika mereka tidak memiliki informasi. Jarang ada orang yang berani berkata kepada seorang pemimpin yang bergaya memerintah bahwa  ia terlau keras, atau membuat pemimpin tahu bahwa ia bisa lebih bersikap visioner, atau lebih demokratik. Oleh karena itu, pemimipin yang mempunyai kecerdasan emosi perlu mencari sendiri kebenaran atas dirinya.

Salah satu cara yang paling efektif untuk menemukan kebenaran yiatu dengan menggunakan kesadaran diri dan empati, untuk memantau tindakan mereka sendiri dan memperhatikan bagaimana orang bereaksi terhadap diri mereka. Mereka terbuka dengan kritik, baik terhadap ide ataupun kepemimpinan mereka. Secara aktif, mereka mencari umpan balik negatif dan menghargai suara yang sumbang.

Menyelesaikan Penemuan Kedua

Penemuan kedua merupakan kelanjutan dari tindakan yang mendorong diri untuk melakukan self-directing leaning, yaitu pengenalan gambaran diri yang ideal. Penemuan kedua dimulai dengan mengungkapkan realita mengenai bagaimana kita melihat diri sendiri, dan bagaimana orang lain melihat kita. Untuk melengkapi penemuan ini, kita perlu mengembangkan pemahaman tentang kekuatan da kesenjangan kepemimpinan kita, perbedaan atau kesamaan antara diri ideal dengan diri riil.

 

Cara Melihat Area-Area yang Tidak Terlihat

Tidak mudah bagi pemimpin untuk mengenali kekuatan serta kesenjangan mereka sendiri. Metode 360-derajat menawarkan gambaran yang lebih utuh. Dengan mengumpulkan informasi dari banyak orang, pemimpin, rekan kerja dan bawahan, kita akan mendapatkan berbagai perspektif tentang tindakan kita dan bagaimana orang lain melihat tindakan tersebut. Sudut pandang 360-derajat ini menawarkan kesepakatan gambaran tentang profil kompetensi kita. apakah kesepakatan ini merupakan sebuah gambar dari diri riil kita, ini akan tergantung pada dua hal : (1) bahwa orang-orang yang berpartisipasi dalam evaluasi 360-derajat, ini sungguh-sungguh berinteraksi dengan kira secara teratur, dan (2) bahwa kita membuka diri kepada mereka.

Tirani Kesenjangan

Begitu kita yakin bahwa kita sudah mendapatkan gambaran yang utuh tentang diri kita dari umpan balik, kita siap untuk memperhatikan kekuatan dan kesenjangan kita. seringkali penekanan pada kesenjangan seringkali membangunkan korteks prefrontal kanan, yaitu perasaan cemas dan mempertahankan diri. Sekali muncul, pertahanan diri ini akan meruntuhkan motivasi dan bukan membangun motivasi, dan karenanya mengganggu bahkan menghentikan self-directing leaning dan kemungkinan perubahannya.

Neraca Keseimbangan Pribadi

Pemusatan perhatian hanya pada kesenjangan seseorang bukan saja akan menimbulkan depresi dan menghancurkan motivasi, tetapi juga mengakibatkan miringnya neraca keseimbangan pribadi. Kekuatan kita mengungkapkan hal-hal penting yang telah kita pelajari sebagai pemimpin di dalam perjalanan hidup dan karier kita. Kekuatan kita merupakan kumpulan hasil dari pengalaman kita, pembelajaran yang telah kita dapatkan.

Dengan melihat kedua penemuan pertama, yaitu tentang diri ideal dan diri riil kita, kekuatan serta kesenjangan kita, dan memotivasi untuk berubah. Agar perubahan tersebut dapat terwujud, dibutuhkan peta jalan mengenai rencana tentang cara membangun kekuatan, menutup kesenjangan, dan mewujudkan aspirasi serta impian.

 

METAMORFOSIS

Memelihara Perubahan Kepemimpinan

Semakin banyak bagian dari hidup yang kita anggap relevan dengan tujuan pembelajaran kepemimpinan, semakin banyak kesempatan yang kita berikan pada diri kita sendiri. Kepekaan menyadari kesempatan belajar ketika mereka muncul dan spontanitas untuk menangkap kesempatan itu sebagai cara untuk mempraktekkan keterampilan baru, akan mempercepat terjadinya perbaikan.

Penemuan Ketiga: Agenda Pembelajaran

Rencana perbaikan yang berfokus pada pembelajaran dan tidak hanya berfokus pada hasil kerja, merupakan rencana yang paling efektif. Agenda pembelajaran yang terbaik akan membantu kita berfokus pada seperti apa yang kita inginkan, yang merupakan cita-cita kita sendiri dan bukan pada pemikiran orang lain tentang diri kita. Menentukan sasaran pengembangan yang berarti akan membuat kita mengambil langkah-langkah nyata yang menyiapkan kita untuk berubah dan bukan sekadar merenungkan perubahan.

Korteks Prefrontal yang “Bangun”

Menurut peneliti di University of Pittsburgh dan Carnegie Mellon University telah menunjukkan bahwa ketika seseorang mempersiapkan diri secara mental untuk suatu tugas, mereka mengaktifkan korteks prefrontal yaitu bagian dari otak yang melakukan fungsi-fungsi pelaksanaan dan menggerakkan orang ke dalam tindakan. Latihan mental seperti ini menjadi sangat penting ketika kita berusaha mengatasi kebiasaan lama dalam hal kepemimpinan dan menggantikannya dengan cara-cara yang lebih baik. Seperti yang ditemukan oleh seorang neurolog dalam kajian ini, korteks prefrontal menjadi sangat aktif ketika seseorang harus bersiap mengatasi suatu respon kebiasaan. Korteks prefrontal yang sudah dibangunkan ini menandakan bahwa otak berfokus pada apa yang akan terjadi. Tanpa korteks yang sudah bangun ini, seseorang akan melakukan rutinitas lama yang sudah tidak diinginkannya.

Menetapkan Tujuan: Perspektif Baru

Tidak ada hal yang baru dalam soal menetapkan tujuan dan menciptakan rencana untuk mencapainya. Hal ini telah jelas ditunjukkan dengan adanya alasan ilmiah dari proses ini. David Kolb, bekas mahasiswa MCClelland, melakukan suatu seri penelitian pada MIT yang mengemukakan bagian-bagian mana dari proses penentuan tujuan yang sangat penting untuk terjadinya keberhasilan.

Kajian yang dilakukan pada orang-orang yang telah meningkatkan kecerdasan emosinya mengungkapkan bebrapa hal penting tentang mana yang berguna dan mana yang tidak. Meskipun beberapa di antaranya tampak sangat biasa, bahkan hanya sekadar akal sehat, tetapi jarang dilakukan.

Termasuk di antara penemuan ini adalah:

  • Tujuan harus berlandaskan pada kekuatan seseorang, bukan kelemahannya.
  • Tujuan harus dimiliki oleh seseorang, bukan tujuan yang dipaksakan oleh orang lain.
  • Rencana harus fleksibel, memungkinkan seseorang menyiapkan diri untuk masa depan dengan cara yang berlainan, suatu metode perencanaan yang dipaksakan oleh organisasi seringkali terbukti tidak produktif.
  • Rencana harus layak, dengan langkah-langkah yang bisa ditangani.
  • Rencana yang tidak cocok dengan gaya pembelajaran seseorang akan tidak memotivasi dan cepat tidak diperhatikan.

Tujuan Harus Berlandaskan pada Kekuatan

Untuk mewujudkan kompentensi-kompetensi yang diperlukan untuk menjadikan seorang pemimpin itu menonjol, dapat menerapkan kompetensi yang sudah mendekati tipping point. Tipping point merupakan suatu tingkat di mana diperlukan relatif hanya sedikit perbaikan atau peningkatan di dalam frekuensi kompetensi untuk mengantarkan seseorang pada kinerja yang sangat menonjol.

Apakah Sasaran Tersebut Sungguh-Sungguh Sasaran Anda?

Dalam penentuan tujuan, seringkali orang setuju untuk membuat tujuan karena atasan, pembimbing atau pasangan hidup yang mampu mendorong seseorang untuk berubah. Tetapi perlu diingat bahwa semakin pribadi komitmen terhadap tujuan pembelajaran, akan semakin besar kemungkinan kita mencapai tujuan tersebut. Di sinilah gairah dan harapan, suatu kegiatan otak yang memotivasi, yang terjadi ketika kita berkontak dengan impian. Semakin sulit tujuan seseorang, semakin penting pula komitmennya.

Bagaimana Anda Merencanakan Masa Depan?

Perencanaan masa depan merupakan proses yang sangat pribadi. Oleh karenanya, tidak ada cara yang “benar” untuk merencanakan masa depan. Ketika orang mencoba mengikuti suatu model yang telah dibuat oleh orang lain, maka rencana pembelajaran mereka biasanya akan segera terselip di alas kaki meja. Dalam hal merumuskan sebuah agenda yang bermanfaat bagi masa depan, tidaklah ada satu rumus pun yang cocok untuk semua orang. Artinya, kita telah menemukan bahwa di dalam setiap gaya perencanaan yang digunakan orang, terkandung kompetensi-kompetensi yang layak untuk dipelajari.

Rencana Harus Feasible

Suatu perbaikan akan bertahan lebih lama jika orang-orang mengenali kompetensi kecerdasan emosi sebagai bagian dari tujuan pembelajaran mereka, dan bukan menetapkan suatu target yang samar. Rencana pembelajaran yang mengandung langkah-langkah yang nyata dan praktis akan menghasilkan perbaikan yang sangat kuat.

 

 

 

Mengenali Gaya Pembelajaran Anda

Seseorang akan belajar dengan sangat baik jika mereka menggunakan modus atau cara pembelajaran yang cocok dengannya. Kolb menemukan bahwa orang paling sering belajar melalui salah satu dari beberapa cara perikut:

ü Pengalaman nyata: memiliki pengalaman yang memungkinkan mereka untuk melihat dan merasakan.

ü Refleksi: memikirkan pengalaman mereka sendiri dan pengalaman orang lain.

ü Membangunkan model: menyimpulkan sebuah teori yang memberi arti pada apa yang mereka amati.

ü Trial-and-error: mencoba melakukan sesuatu dengan bereksperimen secara aktif dengan pendekatan yang baru.

Penemuan Keempat: Rekonfigurasi Otak 

Model Pembelajaran Baru

Otak menguasai kompetensi-kompetensi kepemimpinan yaitu segala sesuatu mulai dari kepercayaan diri dan pengelolaan emosi diri sampai ke empati dan persuasi, terutama melalui pembelajaran implisit. Pembelajaran implisit merupakan pembelajaran yang tidak terjadi di lapisan terluar neokorteks atau otak pemikir, namun lebih kebagian bawah otak di ganglia basal..

Orang dapat memperbaiki kebiasaannya jika mereka melakukan tiga hal: mengangkat kebiasaan buruk pada kesadaran, dengan sadar melatih cara yang lebih baik, dan mengulang perilaku baru setiap kali kesempatan muncul sampai kebiasaan baru ini menjadi kebiasaan otomatis, yaitu sampai terjadi penguasaan di tingkat pembelajaran implisit. Semakin sering suatu urutan perilaku terulang, akan semakin kuat sirkuit otak yang melatarbelakanginya.

 

Semuanya Penampilan, Bukan Latihan

Kunci dari pembelajaran kebiasaan baru bagi pemimpin terletak pada latihan sampai tingkat penguasaan. Jika tidak, mereka hanya mengundang kekambuhan, kemblainya kebiasaan lama. Dalam menguasai keterampilan kepemimpinan, pemimpin perlu mengubah pilihan otomatis otaknya dengan memutuskan kebiasaan-kebiasaan lama dan mempelajari kebiasaan baru, dan ini memerlukan waktu latihan yang lama agar tercipta jalan persarafan yang baru, kemudian menguatkannya.

Pembelajaran Diam-Diam

Pembelajaran diam-diam bisa terjadi di manapun dan kapanpun. Pembelajaran ini dilakukan diluar rutinitas sehari-hari, misalnya ketika mengikuti suatu kegiatan sosial, klub-klub olahraga, kelompok musik, dan lain-lain.

Kekuatan Latihan Mental

Semakin banyak waktu yang digunakan oleh seseorang untuk berlatih, maka semakin besarlah hasil yang didapat. Ada cara lain untuk mengembangkan kesempatan untuk melatih keterampilan kepemimpinan yaitu dengan menggunakan latihan mental. Keberhasilan pemimpin bergantung pada kemampuan orang tersebut dalam menggambarkan dengan jelas diri mereka mencapai keadaan ideal, dan kemudian mempertahankan fokus itu. Bereksperimen dengan perilaku baru dan menggunakan setiap kesempatan di dalam dan di luar tempat kerja untuk mempraktekkannya, serta menggunakan metode-metode seperti latihan mental, pada akhirnya akan memicu hubungan saraf baru di dalam otak, yang diperlukan untuk terjadinya perubahan yang sesungguhnya.

 

 

Penemuan Kelima: Kekuatan Relasi

Di dalam proses self directing learning, pemimpin justru menarik orang-orang di dalam setiap langkahnya, mulai dari mengartikulasikan dan mengasah diri ideal dan membandingkannya dengan realita, sampai penilaian akhir yang mengukuhkan kemajuan yang dialaminya. Relasi menawarkan korteks di mana seseorang memahami kemajuannya dan menyadari kegunaan dari apa yang sedang dipelajarinya. Percobaan dan pelatihan kebiasaan baru membutuhkan tempat dan relasi yang aman.

Stress Kepemimpinan

Dilihat dari berbagai segi, kepemimpinan pada dasarnya penuh stress. Pembelajaran kepemimpinan akan paling baik dilakukan di dalam kondisi di mana orang merasa aman karena ketika tingkat kestressan seseorang meningkat, atau ketika motif kekuasaannya tergugah, tubuhnya bereaksi dengan mengeluarkan lebih banyak adrenalin dan nonadrenalin, yaitu hormon-hormon stress tubu. Ini menjurus pada meningkatnya tekanan darah, yang membuat orang bersiap-siap melakukan tindakan. Pada saat yang sama, tubuh mengeluarkan hormon stress kortisol, yang berefek lebih lama daripada adrenalin dan yang mengganggu pembelajaran baru. Ketika orang merasa stress, tentu mereka tidak lagi merasa aman, dan ini lebih menghambat dirinya untuk berlatih cara bertindak yang baru. Mereka cenderung mempertahankan diri, mengandalkan kebiasaan lama yang paling dikenalnya.

Mentor dan Pembimbing

Pengalaman yang paling mendongkrak perkembangan karier seseorang adalah ketika mereka merasa bahwa tantangannya berada di luar kemampuan mereka. Pada saat seperti ini diperlukan seorang mentor yang mensponsorinya yang meminta mereka untuk menerima pekerjaan dan melindunginya dari campur tangan “tangan-tangan yang membantu”. Payung yang diciptakan oleh mentor ini begitu penting sehingga perusahaan mulai mengacu kompetensi mentor sebagai “pemberi ruang untuk bertindak” kepada orang lain.

Mengikutsertakan Seluruh Tim

Setiap manajer mempunyai kesempatan untuk mengartikulasikan impian dan aspirasinya (penemuan pertama), melihat dirinya sebagaimana orang lain melihat dirinya melalui umpan balik 360-derajat dan mengenali kekuatan serta kesenjangannya (penemuan kedua), mengembangkan agenda pembelajaran prubadi (penemuan ketiga), dan bereksperimen serta melatih kebiasaan kepemimpinan yang baru di tempat kerja (penemuan keempat). Para manajer melakukan usaha ini bersama satu sama lain (penemuan kelima) dan menciptakan iklim kepemimpinan baru. Mereka mengembangkan resonansi emosi tentang misi mereka dan perkembangan mereka sebagai pemimpin.

 

BAGIAN TIGA

Membangun Organisasi Yang Cerdas Emosi

Bab Depalan

Realita Emosi Tim

Jika tim (dan seluruh organisasi) menghadapi realita emosi kolektifnya, mereka memulai suatu pemeriksaan ulang yang sehat terhadap kebiasaan kolektif mereka, yang selama ini telah menciptakan dan memelihara realita emosi tersebut. Sebenarnya, disinilah awal yang tepat bagi pemimpin untuk memperluas kecerdasan emosi ke seluruh tim dan organisasi: dengan melihat realita yang sesungguhnya, dan bukan terlebih dulu berfokus pada visi ideal. Jadi, urutan refleksi dan penemuan diri di tingkat pribadi berbalik dengan urutan untuk tingkat individual.

Sekali realita emosi dan norma tim serta budaya organisasi telah dimengerti, maka pemahaman tersebut dapat digunakan sebagai titik tolak pengembangan visi ideal untuk kelompok, yang harus selaras dengan visi pribadi setiap orang agar benar benar memikat. Jika realita dan visi ideal ini telah dimengerti, maka kita bisa mengenali dan menjelajahi kesenjangan di antara keduanya dan dengan sadar membuat rencana untuk menyelaraskan apa yang terjadi pada hari ini dengan visi hari esok. Semakin selaras realita dengan visi ideal, maka perubahan semakin bisa diandalkan untuk bertahan dalam jangka panjang.

Jika Tim Gagal: Kekuatan Norma

Seorang pemimpin yang tidak cerdas emosinya dapat mengacaukan situasi sebuah tim. Pada umumnya situasi mengacaukan tersebut berakar pada masalah yang berkaitan dengan cara pemimpin mengelola bahasa diam yang terkandung dalam emosi dan norma. Kita menyepelekan norma, namun norma itu sebenarnya powerful. Norma mewakili pembelajaran implisit di tingkat kelompok-aturan yang diam diam kita serap melalui interaksi dari hari ke hari dan yang cenderung kita anut secara otomatis sehingga mereka bisa “masuk” dengan lancar.Dengan kata lain, norma mendikte apa yang “terasa benar” pada suatu situasi tertentu, dan dengan demikian mengatur cara tindak orang-orangnya.

Memaksimalkan Kecerdasan Emosi Kelompok

Kelompok mempunyai suasana hati dan kebutuhan, dan bertindak secara kolektif—ingat saja saat terakhit ketika anda datang terlambat pada saat rapat dan bisa merasakan ketegangan di dalam ruangan. Anda telah menduga bahwa telah terjadi suatu konflik, bahkan sebelum ada satu orangpun yang berbicara.Tindakan saling menunjukkan empati akan menjuruskan tim untuk menciptakan dan memelihara norma-norma positif dan mengelola relasinya dengan dunia luar secara efektif.

Kesadaran Diri Tim

Karena emosi menular, maka anggota tim saling mencontoh sikap emosi rekannya, baik yang positif maupun yang negatif. Jika sebuah tim tidak mampu mengenali perasaan seorang anggota yang marah, maka emosi itu dapat memicu reaksi negatif yang berantai. Di sisi lain, jika tim telah belajar mengenali dan menghadapi saat-saat seperti itu secara efektif, maka kesusahan satu orang tidak akan menyabot seluruh kelompok.

Kesadaran diri tim bisa juga menciptakan norma-norma, seperti saling mendengarkan sudut pandang setiap orang—termasuk sudut pandang yang sangat berbeda dari salah satu anggota—sebelum keputusan diambil. Atau bisa berarti mengenali jika ada anggota tim yang merasa tidak nyaman dalam mempelajari sebuah tugas, dan bertindak menawarkan dukungan.

Pengelolaan Diri Tim

Dalam hal ini bisa dilakukan dengan misal membagi agenda rapat hari ini—bersamaan dengan “daftar norma-norma proses” dengan contoh isi:

Setiap orang bertanggung jawab untuk :

  1. Menjaga agar kita tidak keluar jalur dari apa yang sudah kita mulai
  2. Menfasilitasi masukan kelompok
  3. Mengajukan pertanyaan tentang prosedur kita ( misalnya meminta kelompok untuk menjelaskan ke mana arahnya dan menawarkan ringkasan masalah-masalah yang sedang didiskusikan untuk memastikan bahwa kita mempunyai pengertian yang sama tentang masalah tersebut)

Di dalam tim yang sadar diri dan mengelola dirinya sendiri, anggota tim sendiri akan berperan untuk menanamkan dan memperkuat norma-norma yang resonan dan saling bertanggung jawab untuk menepatinya.Jadi, pengelolaan diri tim adalah tanggung jawab setiap orang. Dibutuhkan seorang pemimpin yang kuat dan cerdas emosinya agar kelompok agar terus mempraktekkan pengelolaan diri, terutama pada tim-tim yang tidak terbiasa menangani emosi dan kebiasaan secara proaktif.

Empati Tim

Dengan membantu memicu perasaan bangga pada tim lain, sebuah tim menciptakan niat baik di antara kedua bagian organisasi—dan hasrat untuk saling membantu keberhasilan masing-masing. Tim ini menggunakan ketrampilannya untuk berusaha mengerti bagian lain dari organisasi dan bagaimna kedua bagian ini saling mempengaruhi, dan dengan demikian menumbuhkan relasi yang saling bermanfaat.

Tetapi, bersikap empati di tingkat tim bukan hanya berarti bersikap manis. Bersikap empati di tingkat tim berarti memahami apa yang sungguh dibutuhkan oleh seluruh sistem dan mengusahakannya dengan cara yang membuat semua pihak terkait menjadi lebih sukses dan puas dengan hasil akhirnya.

Mengungkap Realita-Emosi Tim

Pemimpin yang ingin menciptakan tim yang cerdas emosinya dapat memulai dengan membantu tim meningkatkan kesadaran diri kolektifnya.. ini adalah pekerjaan yang sesungguhnya dari seorang pemimpin: memantau nada emosi tim dan membantu anggota-anggotanya mengenali setiap disonansi yang melandasinya. Hanya jika sebuah tim bisa menghadapi realita emosinyalah maka ia akan merasa tergerak untuk berubah.

Bukan hanya memantau apa yang dilakukan anggota tim tapi juga memahami apa yang dirasakan oleh mereka. Kemudian, sekali pemimpin sudah membantu timnya untuk mengungkap norma-normanya yang kurang produktif, maka kelompok dapat membahas cara-cara baru dalam melakukan sesuatu.

Menetapkan Aturan Dasar: Tugas Pemimpin

Pemimpin dapat mencontohkan perilaku melalui tindakan mereka sendiri atau melalui dorongan yang positif kepada anggotanya untuk melakukan sesuatu yang membangun kemampuan-emosi kelompok. Penetapan aturan dasar yang benar memerlukan seorang pemimpin yang cerdas emosinya—sekali lagi, akal sehat, tetapi bukan kebiasaan. Pemimpin terbaik akan memperhatikan dan bertindak atas dasar apa yang mereka rasakan sedang terjadi di dalam kelompok, dan mereka tidak perlu melakukannya secara terang-terangan.pesan-pesan yang samar, seperti diam-diam mengingatkan seseorang untuk tidak menyerang ide-ide selama sesi brainstorming, juga akan sangat berdaya. Di bawah kepemimpinan seperti ini, dengan berjalannya waktu, secara alami tim akan mengumpulkan norma umum yang positif tentang cara saling berelasi.

Menemukan Kecerdasan-Emosi Tim

            Seringkali suatu kebiasaan terasa tidak masuk akal bagi orang-orang—tetapi mereka masih melakukannya, memandangnya sebagai ‘inilah cara kita melakukannya disini”. Pemimpin yang cerdas emosinya akan mencari tanda-tanda yang mengungkapkan apakah kebiasaan-kebiasaan seperti itu, dan sistem-sistem yang mendukungnya, bekerja dengan baik. Mengumpulkan orang-orang di tim eksekutif puncak agar mereka dapat berbicara secara jujur tentang apa yang bisa berjalan dan apa yang tidak adalah langkah pertama menuju penciptaan sebuah tim yang lebih resonan.

BAB SEPULUH

Realita dan Visi  Ideal

Memberi hidup pada masa depan organisasi

–     Bila Pemimpin Tidak Mendengarkan

Langkah pertama itu, yaitu mengungkap kebenaran dan realita organisasi, adalah tugas primal pemimpin. Bentuk kepemimpinan dengan gaya yang memerintah dan menentukan kecepatan yang kaku dan yang sebenarnya menghalangi orang-orang untuk mengatakan kebenaran kabar buruk.

–        Organisasi yang Beracun

Jika para pemimpin menerapkan dengan gaya-gaya yang disonan, budaya organisasi yang ditimbulkannya jelas bersifat beracun. Gaya negatif pemimpin itu melandasi sekumpulan norma budaya yang sangat menghancurkan. Anggota staf diharapkan mencontohnya, membuat pelanggan merasa elit dan sangat terhormat, dan bahwa layanan perusahaan (yang sangat mahal) adalah layanan yang terbaik di dunia.

 

–               Di mana Perubahan Dimulai

Bukan berarti organisasi yang beracun tidak dapat berubah.  Perubahan dimulai ketika pemimpin yang cerdas emosinya secara aktif mempertanyakan realita emosi dan norma-norma budaya yang melatar belakangi kegiatan dan dan perilaku kelompok sehari hari. Pemimpin harus memberikan perhatian pada dimensi-dimensi yang tersembunyi: emosi orang-orang, aliran realita emosi di bawah permukaan organisasi, dan budaya yang mengikat semua.

Landasan utama dari perubahan yaitu:perhatian pada realita emosi da budaya orgaisasi. Terkadang mereka memaksakan perubahan dari atas—tujuan-tujuan yang rasional, mandat-mandat yag jelas, dan proses-proses ang logis.

 

Menemukan Realita Organisasi melalui Pertanyaan Dinamis

Pengukuran realita organisasi dapat dilakukan dengan survei, hanya mengukur apa yang hendak diukurnya—dan jarang memasuki lapisan-lapisan yang lebih samar dari perasaan di bawah permukaan dan norma-norma kompleks yang mengalir dalam organisasi. Area-area yang tidak terlihat ini bisa mengakibatkan pengukuran hanya pada apa yang orang ingin ketahui, buka apa yang tidak ingin mereka ketahui. Menyediakan perasaan persatuan dan resonansi, dan momentum yang ditimbulkan membantu orang-orang untuk bergerak dari bicara ke tindakan. Mereka merasa terinspirasi dan diberdayakan, bersedia bekerja bersama untuk menghadapi kepedulian kolektif mereka.

Menemukan Spirit Kerja

Pemimpin mengikuti prinsip-prinsip sederhana. Ia menggunakan sebuah prinsip pendekatan inklusif, menerapkan pertanyaan dinamis, dan melibatkan orang di dalam menemukan kebenaran tentang diri mereka sendiri dan organisasi. Ia menyatukan orang-orang pada gairah kerja dan impian ideal: mereka melihat dirinya sebagai seorang visioner, dan mereka mengikutinya. Ia menjadi model untuk perubahan yang diinginkannya. Akhirnya, ia menempatkan sistem-sistem untuk mendukung kebiasaan dan cara baru dalam melakukan segala sesuatu. Tindakan selanjutnya—mengubah sistem—adalah sangat penting untuk memelihara perubahan.

Pemimpin yang cerdas emosinya tahu bahwa tugas primalnya adalah pertama-tama melihat realita organisasi, mengenali isu-isu dengan keterlibatan penuh dari orang-orang kunci. Mereka melakukan pembicaraan dengan organisasi secara keseluruhan, menggunakan proses-proses yang ada agar orang-orang terlibat penuh secara emosi di dalam membongkar realita yang ada, sementara memasuki harapa perorangan dan kolektif tentang masa depan.

 

Pergeseran Penting: Beralih dari Disonansi ke Visi Ideal

Sekali realita budaya sudah diungkap dan dijelajahi, tahap selanjutnya dalam upaya menuju organisasi yang cerdas emosi memerlukan dirumuskannya sebuah visi ideal untuk organisasi yang selaras dengan harapan dan impian perorangan. Pemimpin ingin menciptakan suatu perasaan khusus bahwa kita semua terlibat di dalam bekerja bersama untuk sesuatu yang lebih besar daripada diri kita sendiri. Derajat “perasaan kesukuan” dalam sebuah organisasi bisa menjadi petunjuk yang baik tentang seberapa baik mereka sudah mengenali visi idealnya dan menyelaraskan orang-orangnya pada tujuan bersama.

Inspirasi dan “Jam Tikus”

Bagaimana seorang pemimpin perlu memasuki gairah mereka, bahwa kami membutuhkan mereka untuk melihat bisnis mereka dengan cara yang betul-betul baru, dan kami membutuhkan mereka untuk mengembangkan perilaku kepemimpinan yang sangat berlainan. Dimulai dengan perubahan pola pikir pemimpin puncak. Kemudian, di seluruh jenjang organisasi terdapat kejelasan yang luar biasa tentang apa yang sedang dilakukan dan apa sebabnya.

Untuk berhubungan dengan jenis visi yang bisa menggerakkan suatu budaya ke arah resonansi, para pemimpin yang cerdas emosinya memulai dengan melihat ke dalam dirinya—pada apa yang mereka rasakan, pikirkan, dan rasakan secara naluriah tentang organisasinya.

Penyelarasan, Bukan Pengaturan

Untuk membuat orang-orang sungguh-sungguh merangkul perubahan diperlukan penyelarasan—kali ini dalam artian penyelarasan dengan jenis resonansi yang menggerakkan orang-orang secara emosi maupun intelektual. Penyelarasan, dan bukan sekedar pensejajaran, akan menawarkan antusiasme yang memotivasi bagi sebuah visi organisasi. Ketika penyelarasan seperti ini terjadi, orang-orang merasakan kehangatan dari kegembiraan bersama, dari banyak orang yang antusiasme merasakan pekerjaan mereka.

Jadikan Diri Anda Sebagai Perubahan yang Anda Inginkan

Pemimpin perlu secara konsisten menunjukkan sendiri perilaku yang ingin dilihatnya. Sejak awal, ia menggunakan tindakan melibatkan yang ada dalam gaya kepemimpinan afiliatif, didukung oleh jumlah optimal gaya demokratis—sebuah kombinasi yang jarang terjadi di dalam perusahaannya. Ia menyingkirkan catatan jadwal hariannya dan menganut kebijakan pintu terbuka, tidak pernah menolak permintaan pegawai yang ingin bicara dengannya. Dan ia sungguh-sungguh mendengarkan ketika orang berbicara: ia menerima nasehat mereka, memasukkan pandangan mereka ke dalam keputusan-keputusan yang sedang dibuat. Ia memutuskan garis hierarki dengan makan bersama staf di kafetaria, dan ia berhubungan secara pribadi dengan orang-orang. Ia membuat keputusan yang bersifat sentrifugal—mendorong pembuatan keputusan yang seluas mungkin sampai ke jenjang organisasi paling rendah. Secara umum, ia mengajak orang untuk melihat dalam-dalam ke dalam dirinya sendiri untuk menemukan apa yang benar bagi bisnis—dan bertindak selaras dengannya.

Hasil dari gaya kepemimpinan seperti di atas adalah timbulnya saling percaya dan menghormati. Lama kelamaan gaya ini ditiru oleh orang-orang dalam organisasi, dan bertahap norma-norma budaya bergeser ke arak keterbukaan dan mutualisme.

Di sepanjang perubahan organisasi ini, pemimpin mengambil waktu untuk dibutuhkan untuk mengikuti beberapa aturan dasar yang bisa memicu perubahan:

–       Memfokuskan perhatian orang-orang pada isu-isu yang melandasi dan jalan keluarnya untuk menciptakan landasan dan pengertian bersama tentang apa yang perlu diubah dan  apa sebabnya.

–       Berfokus pada tujuan, menggabungkan gaya-gaya kepemimpinan yang membangun resonansi agar orang berbicar tentang harapannya masa depan dan mengenali dedikasi yang orang rasakan terhadap perusahaan.

–       Beralih dari kata ke tindakan.

Menghidupi Misi

Menghidupkan misi dilakukan dengan tujuan memperkuat komitmen pekerja pada pekerjaannya, benar-benar memahami dunia kerjanya. Dengan melibatkan semua orang untuk merangkul dan menyelaraskan diri dengan misi. pemimpin membangun resonansi yang jauh lebih tahan lama daripada sekedar suatu program perubahan. Malah sebenarnya, staf telah bergabung dengannya dalam menciptakan visi untuk misi mereka. Ia menyadari bahwa agar orang merasa usahanya berarti, mereka perlu melihat dan merasakan hasil dari pekerjaan mereka, melihat bagaimana caranya pekerjaan yang telah mereka lakukan sungguh mendukung apa yang mereka percayai.

Mendengarkan dan Menyelaraskan dengan Komunitas: Judith Rodin dan John Fry dan University of Pennsylvania

Pelajaran: Membangun Organisasi yang Cerdas Emosi

Adalah tanggung jawab pemimpin yang cerdas emosi untuk menciptakan organisasi resonan. Para pemimpin ini melibatkan orang-orang dalam menemukan kebenaran tentang diri mereka sendiri dan organisasi: mereka mengenali kebenaran apa yang sebenarnya terjadi, dan mereka membantu orang-orang untuk mengungkapkan apa yang membahayakan dan menyakitkan, serta apa yang membangun kekuatan-kekuatan organisasi. Pada saat yang sama, mereka menyatukan orang di sekitar impian tentang apa yang bisa dicapai, dan di dalam prosesnya, mereka menciptakan dan menunjukkan cara-cara baru dalam bekerja bersama kepada orang-orang. Mereka membangun resonansi , dipertahankan melalui sistem-sisten yang mengatur pasang surutnya relasi dan kerja dalam organisasi.

Menemukan Realita Emosi

–       Menghargai nilai-nilai kelompok dan integritas organisasi

Visi-visi berubah, tapi pemimpin perlu memastikan pusat keramatnya—apa yang dianggap orang penting—tetap utuh.

ü  Mengetahui pusat keramat melalui sudut pandang orang lain

ü  Apa yang harus berubah, maka perlu memotivasi secara kuat dan pribadi—sebaiknya oleh harapan dan impian, bukan rasa takut.

–       Memperlambat agar bisa cepat

Proses seperti pertanyaan dinamis memerlukan pendekatan yang mendukung, membimbing dan gaya demokratis: pemimpin sungguh-sungguh mendengarkan realita emosi organisasi, kelompok berdialog membangun kesepakatan, memastikan bahwa orang-orang dilibatkan.

–       Memulai strategi dari bawah ke atas di tingkat puncak

Pimpinan puncak harus berkomitmen menghadapi kebenaran tentang realita emosi organisasi, dan mereka harus berkomitmen untuk menciptakan resonansi di seputar visi ideal.

Menvisualisasikan Ideal

–       Melihat ke dalam

Untuk merumuskan sebuah visi yang akan menggema pada orang lain, pemimpin perlu memberi perhatian, dimulai dengan mendengarkan perasaan mereka sendiri dan perasaan orang lain.

–       Jangan mensejajarkan—tetapi menyelaraskan

Agar sebuah visi bisa mendorong, visi perlu menyentuh hati orang-orang. Mereka perlu melihat, merasakan, dan menyentuh nilai-nilai dan visi organisasi agar apa yang abstrak bisa menjadi berarti secara nyata.

–       Orangnya dulu, baru strategi

Pemimpin yang menggunakan gaya yang membangun resonansi mencontohkan norma-norma yang mendukung komitmen, keterlibatan, usaha yang aktif menuju visi, dan hubungan kerja yang sehat dan produktif.

Memelihara Kecerdasan Emosi

–       Mewujudkan visi ke dalam tindakan

Idealnya, dalam setiap interaksi, dalam setiap keputusan, pemimpin secara konsisten bertindak dengan nilai-nilainya sendiri dan dengan nilai-nilai organisasi yang ingin mereka ciptakan. Memimpin melalui pembimbingan, visi, demokrasi, dan penghargaan bagi orang-orang di sekitar mereka.

–       Menciptakan sistem yang memungkinkan kelangsungan praktek kecerdasan emosi

Tidaklah masuk akal mengharapkan kepemimpinan yang cerdas emosi jika di dalam kenyataannya, kecerdasan emosi ini tidak dikenali dalam sistem manajemen kinerja atau sistem imbalan.

–       Mengelola mitos kepemimpinan

Jika terdapat mitos yang benar—yaitu yang mendukung kecerdasan emosi dan resonansi—orang akan lebih mudah mempertahankan iklim emosi yang positif, bahkan bila harus menghadapi kesulitan.

 

BAB SEBELAS

Menciptakan Perubahan yang Berkelanjutan

Dalam setiap organisasi besar akan terdapat beberapa kantung resonansi dan kantung disonansi, itu wajar. Perbandingan keseluruhan resonansi terhadap disonansi akan menentukan iklim emosi organisasi dan berkaitan langsung dengan kinerja. Kunci untuk menggeser perbandingan ke arah yang  benar terletak pada dilatihnya kader-kader pemimpin yang tersebar yang akan menciptakan kelompok-kelompok yang cerdas emosinya.

Sebenarnya, pemimpin yang  ingin melakukan perubahan besar-besaran, pertama-tama perlu mengenali bahwa mereka bekerja melawan arus: organisasi senang pada rutinitas dan status quo.

 

Ketika Pembangunan Kepemimpinan Gagal

Agar suatu kepemimpinan bisa berhasil, manajemen puncak perlu menunjukkan bahwa komitmen ini datang dari atas. Ada alasan mengapa komitmen harus datang dari atas: jenis perubahan yang kita bicarakan memerlukan usaha, dukungan dan sumberdaya—dan bukan hanya uang. Kepemimpinan yang baru berarti pola pikir baru dan perilaku baru, dan agar semua ini bertahan, maka budaya, sistem, dan proses organisasi juga perlu berubah.

 

Pembimbingan Eksekutif

Sebagian besar proses pembimbingan eksekutif melibatkan penilaian kepemimpinan dan fokus yang berkesinambungan pada pengembangan. Juga menangani masalah-masalah organisasi yang lebih luas—terutama  masalah-masalah dalam realisme orang-orang, misalnya tantangan pemimpin pada timnya, iklim, budaya, dan politik organisasi, dan bagaimana posisi semua ini di dalam strategi bisnis.Cara terbaik dimulai dengan sekumpulan wawancara dan pengamatan oleh seorang pembimbing eksekutif profesional.

Kita Tidak Bisa Menyepelekan Budaya

Kita tidak bisa tidak mempedulikan budaya—dan anda tidak bisa berharap mengubah budaya dengan setiap kali hanya mengubah satu pemimpin. Meskipun orang-orang berusaha melakukan segala sesuatu secara lain, tetapi pola-pola dasarnya tidak berubah, sehingga tidaklah mungkin bagi pemimpin perorangan untuk mencapai tujuan-tujuan utama pembelajaran yang telah mereka tetapkan bagi diri mereka sendiri.

Program lain gagal mempertimbangkan kekuatan budaya ketika mereka melakukan beberapa tindakan tersebut:

–       Tidak mempedulikan keadaan organisasi yang sebenarnya, menganggap bahwa jika orang-orangnya mempelajari apa yang harus mereka lakukan dan harus menjadi seperti apa. Maka sistem dan budaya otomatis akan mendukung mereka di dalam proses perubahan.

–       Hanya berusaha untuk mengubah orang, tidak peduli norma-norma kelompok dinmana mereka bekerja setiap hari dan peran budaya lingkungan yang lebih besar

–       Menggerakkan proses perubahan dari tempat yang salah dalam organisasi.

–       Gagal mengembangkan bahasa kepemimpinan—kata-kata yang penuh arti yang menangkap semangat kepemimpinan dengan melambangkan ide-ide, cita-cita, dan praktek kepemimpinan yang cerdas emosi.

Berhasil dengan Proses—Bukan dengan Program

Strategi pengembangan kepemimpinan yang terbaik  adalah yang didasarkan pada pemahaman bahwa perubahan yang sesungguhnya terjadi melalui suatu proses multifaset yang menembus tiga jenjang penting dari organisasi: perorangan di dalam organisasi,tim dimana mereka bekerja, dan budaya organisasi. Berdasar prinsip-prinsip pembelajaran yang matang dan perubahan individual, proses-proses ini membawa orang pada perjalanan intelektual dan emosional—dari menghadapi realita sampai menerapkan apa yang ideal.

Membangun Perubahan Budaya ke dalam Pengembangan Kepemimpinan

Ketika para pemimpin hanya terlibat secara intelektual dengan strategi, maka tidaklah mungkin memelihara energi dan komitmen, dan pembelajaran menjadi macet. Yang dibutuhkan adalah terlibat secara emosi dengan semangat dan impian  mereka sendiri, dan berhubungan dengan kemungkinan kemungkinan masa depan, diberi kesempatan untuk melakukan sesuatu yang berkaitan dengan hal ini.Yang harus dilakukan para pemimpin adalah menemukan cara agar para eksekutif terlibat secara emosi antara satu sama lain dan dengan visi mereka, serta memastikan bahwa mereka bertindak atas visi tadi. Orang berubah jika mereka terlibat secara emosi dan berkomitmen. Sebuah tim perancang harus memastikan bahwa fokusnya tetap pada semangat—dan menemukan cara-cara untuk mengalihkan semangat ke arah tindakan bisnis yang sesungguhnya.

Menciptakan Kesibukan

Para pemimpin organisasi  perlu menciptakan proses suatu pemilihan yang memungkinkan keterlibatan yang paradoks: yang paling baik dari yang terbaik ikut terpilih, dan setiap orang mempunyai kesempatan. Semua ini berarti melakukan perbincangan yang sungguh-sungguh, bukan sekedar memberi memo atau pesan yang memberitahukapan dan dimana orang harus muncul untuk mengikuti program kepemimpinan.

Sekali proses pengembangan kepemimpinan telah dimulai, pengembangan dan penggunaan suatu bahasa kepemimpinan adalah cara yang ampuh untuk menciptakan kesibukan, yang penting bagi berlanjutnya keterlibatan orang-orang. Penggunaan pengembangan kepemimpinan untuk menangani semua jenjang ini membangun resonansi yang lebih besar di dalam organisasi.

Meningkatkan Kepemimpinan

Prosesnya dimulai dengan mengenali orang-orang di lapangan—juga orang-orang di kantorpusat—yang memiliki potensi manajemen. Sementara waktu berjalan dan strategi berlanjut , pemimpin dan timnya membimbing para manager dalam tahun-tahun pertama yang kritis.Tidak hanya berfokus pada orang, harus mengerti peran penting penelaahan yang luas pada budaya yang melatarbelakangi bisnis, dan bagaimana budaya ini mendukung atau menghambat kepemimpinan.

Memaksimalkan Pembelajaran Setengah-Jalan

Proses-proses yang baik melibatkan unsur berikut:

–     Terkait dengan budaya—kadang perubahan budaya—di dalam organisasi

–     Seminar-seminar berkisar pada falsafah dan praktek perubahan perorangan

–     Pembelajaran yang relevan pada kompetensi-kompetensi kecerdasan emosi—bukan saja keterampilan bisnis

–     Pengalaman belajar yang keatif dan berpotensi besar serta bertujuan

–     Relasi yang mendukung pembelajaran, misal tim pembelajaran dan pembimbing eksekutif

Orang bisa dan akan berubah jika mereka menemukan alasan yang baik untuk melakukannya. Perubahan kepemimpinan membawa orang tiba pada pengertian tentang apa yang ingin mereka ubah dan bagaimana cara mengubahnya. Agar dampak jenis pembelajaran ini berlangsung selamanya pada organisasi, seseorang harus mampu keluar dari kepentingan perorangan dan berpikir tentang apa yang perlu terjadi di dalam kelompok—dan di organisasi—yang akan mendukung pengembangan para pemimpin yang cerdas emosi.

 

Menuju Pekerjaan dan Hidup yang Resonan

Penerapan praktis pertama muncul pada meningkatnya kemampuan kecerdasan emosi seorang pemimpin. Kemudian beralih ke bagaimana membuat seluruh kelompok, tim, organisasi menjadi resonan. Meningkatkan kecerdasan emosi kolektif dari seluruh kelompok bisa berdampak lebih besar bagi bisnis di bandingkan peningkatan pada orang-orang tertentu di dalam kelompok. Tetapi untuk melakukan hal ini diperlukan seorang pemimpin yang cerdas, yang mengerti cara membaca nada emosi kelompok dan mengubah norma-norma atau budaya ke arah yang benar. Dan akhirnya, organisasi-organisasi sendiri bisa menjadi inkubator bagi kepemimpinan yang resonan, dan dengan demikian membuat perbedaan yang sangat berarti bagi orang-orang yang bekerja disana—dan bagi pendapatan perusahaan.

Sekarang Lebih Diperlukan Daripada Dulu

Para pemimpin yang cerdas emosinya tahu bagaimana mengelola emosinya sendiri yang sedang terganggu sehingga mereka bisa mempertahankan fokusnya, berpikir dengan jelas di bawah tekanan. Mereka tetap lentur, menyesuaikan dengan realita baru, jauh sebelum orang-orang lain melakukannya dan bukan bereaksi terhadap kritis hari itu. Bahkan di tengah-tengah perubahan yang cepat, mereka bisa melihat jalan mereka ke masa depan yang lebih cerah, mengkomunikasikan visi itu dengan resonan, dan memimpin jalannya.

Perumusan Kembali Kata Unggul

Kepemimpinan dengan keunggulan relasi seni, keterampilan tunggal yang mengubah  iklim bisnis yang dianggap tidak bisa diubah. Pemimpin yang resonan tahu kapan ia harus bekerjasama dan kapan harus bersikap visioner, kapan harus mendengarkan dan kapan harus memerintahkan. Secara alami, pemimpin ini membangun relasi, mengangkat isu-isu ke permukaan, dan menciptakan sinergi manusia dari kelompok yang harmonis. Mereka membangun kesetiaan yang teguh dengan bersikap peduli pada karier orang-orang yang bekerja untuknya.Mereka menumbuhkan resonansi: mereka memiliki gairah yang murni bagi misi mereka, dan gairah ini menular. Antusiasme dan kegembiraan mereka otomatis menyebar, menyemangati orang-orang yang dipimpinnya. Dan resonansi adalah kunci dari primal leadership.

 
Comments Off on KEPEMIMPINAN BERBASIS KECERDASAN EMOSI

Posted in Kepemimpinan, Leadership